Objek Kajian Film Ngenest dan Analisis Semiotikanya

 Pendahuluan :

Film adalah produk karya seni yang menggabungkan berbagai komponen artistik untuk memenuhi tuntutan spiritual. Oleh karena itu, untuk membuat sebuah film cerita perlu melalui proses konseptual maupun teknis, yaitu pencarian ide cerita dan ide tokoh. Sedangkan fase teknis berupa talenta kreatif untuk mewujudkan ide, konsep, atau cerita apa pun menjadi film yang siap ditonton. Film mungkin juga menarik dan informatif, membuat penonton berpikir lebih dalam.

Isi :

Film ini merupakan versi Starvision Plus dari trilogi novel Ernest Prakasa berjudul sama, NGENEST - Laughing at Life Ala Ernest Prakasa 1, 2, dan 3. Ernest Prakasa (Sky Tierra Solana - Kevin Anggara - Ernest Prakasa) adalah seorang pria Tionghoa asal yang selalu merasa berat dilahirkan sebagai minoritas dan telah disiksa oleh teman-teman sekelasnya sejak ia masih di sekolah dasar. Dari pengalamannya sebagai korban bullying, ia bertekad agar generasi penerusnya tidak mengalami nasib yang sama. Akibatnya, ia memutuskan untuk menikahi seorang wanita pribumi dengan harapan menghindari bencana yang dideritanya di masa lalu. Berhasilkah Ernest menemukan istri idealnya dan mengakhiri siklus prasangka yang ia alami? Ernest adalah putra dari pasangan Tionghoa-Amerika (Ferry Salim dan Olga Lydia). Penampilan fisiknya sangat mirip dengan kebanyakan orang Tionghoa. Mata sipit, kulit putih Dan ternyata memiliki mata sipit dan kulit putih adalah kerugian baginya.

Kesimpulan :

Penelitian ini menganalisa bagaimana mendekode makna-makna yang terkandung di dalam film Ngenest. Dengan menggunakan pendekatan teori Saussure yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) juga sinematografi, ditemukan beberapa hal. Pertama, ditemukan bahwa SARA masih menyerang anak-anak, remaja, dan orang dewasa di Indonesia. Banyak aspek dari masalah ini bertahan dan sulit untuk diberantas. Yang pasti, masalah SARA adalah sisa-sisa dari pemerintahan sebelumnya, terutama dari era Soeharto hingga kerusuhan Mei 1998, yang mengakibatkan hilangnya beberapa partai Tionghoa. Kekhawatiran kedua adalah pernikahan antaretnis dan ras. Perkawinan lintas suku sulit dilakukan karena latar belakang kedua keluarga harus diperhitungkan. Ernest prihatin jika anaknya masih menjadi sasaran hinaan/cibiran teman-temannya akibat ciri fisik yang diturunkan oleh orang tuanya, terutama orang Tionghoa, yang menjadi fokus film ini. Ketiga, film ini mempromosikan Harry Potter. Mungkin hanya sekedar hobi bagi karakter Ernest, tapi bukan sembarang hobi jika tidak tergambar dalam film ini; itu bahkan disebutkan dua kali, di teater dan saat melamar. Keempat, menunjuk pada kepedulian pengrajin cilok terhadap pergaulan bebas. Anak muda Indonesia memiliki tingkat kemitraan yang tidak biasa, seperti hubungan sesama jenis. Ini mirip dengan gunung es, di mana hanya sebagian kecil yang terlihat, terlepas dari kenyataan bahwa mungkin ada penemuan tambahan dalam situasi ini yang tidak ditampilkan secara publik. Akhirnya, ketika kita dihadapkan pada situasi yang tampaknya luar biasa, teman selalu menjadi obat terbaik. Teman terkadang bisa lebih memahami kita daripada keluarga. Diskusi dengan anggota keluarga tidak selalu memberikan hasil terbaik, dan bahkan dapat menimbulkan kesulitan baru.

Comments

Popular posts from this blog

Mengkaji podcast vindes

Menganalisis lagu Tulus “ Ruang Sendiri “ secara Semiotika

Kajian Etimologi untuk Tinjauan Seni Rupa dan Desain